Dana Keistimewaan dan Desa Budaya: Menjaga Warisan Budaya Yogyakarta

 

Desa Kebudayaan Madurejo mengikuti perlombaan Selasa Wagen di Taman BudayaYogyakarta, Selasa (24/09/20240. Selasa Wagen adalah perlombaan yang diadakanoleh Dinas Kebudayaan Yogykarta setiap 35 hari sekali atau setiap selapan menurutkalender jawa.

Yogyakarta, dengan kekayaan budaya dan tradisinya yang beragam, menerima perhatian khusus dari pemerintah Indonesia melalui Dana Keistimewaan (Danais). Program yang dimulai sejak 2013 ini, yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, menjadi tulang punggung upaya pelestarian budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Besaran Danais bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang ditentukan berdasarkan kebijakan fiskal, kondisi ekonomi nasional, dan prioritas pembangunan," jelas Tri Agus Nugroho, Kepala Bidang Perencanaan dan Pengendalian Urusan Keistimewaan Paniradya Kaistimewan DIY.

Data Kenaikan Dana Keistimewaan

Lima Pilar Keistimewaan

Dana Keistimewaan Yogyakarta memiliki cakupan yang luas dalam pengelolaan daerah istimewa. Mulai dari pengaturan tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, hingga pengelolaan kelembagaan Pemerintah Daerah. Tidak hanya itu, dana ini juga mencakup pengembangan kebudayaan, pertanahan, dan penataan ruang. Dari kelima bidang tersebut, sektor kebudayaan mendapat porsi terbesar dalam alokasi anggaran.



Pada tahun 2023, Dana Keistimewaan DIY mencapai angka yang signifikan, yaitu Rp 1,42 triliun. Sebagian besar dana tersebut, sekitar Rp 1,12 triliun, dialokasikan untuk sektor kebudayaan. Khusus untuk pengembangan Desa Budaya, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 4,3 miliar.

Desa Budaya: Wajah Kebudayaan Yogyakarta

Hingga penghujung tahun 2023, lanskap budaya Yogyakarta semakin diperkaya dengan keberadaan 81 Desa Budaya yang tersebar di seluruh wilayah DIY. Kabupaten Sleman memimpin dengan 24 desa budaya, diikuti Bantul dan Gunungkidul yang masing-masing memiliki 19 desa. Kabupaten Kulon Progo menyumbang 16 desa, sementara Kota Yogyakarta memiliki 3 desa budaya. Untuk memastikan pengelolaan yang optimal, setiap desa didampingi oleh dua tenaga profesional, sehingga total terdapat 152 pendamping yang direkrut dari berbagai latar belakang keahlian.


"Pengembangan Desa Budaya menjadi salah satu fokus utama kami. Selain untuk melestarikan tradisi lokal, Desa Budaya diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi berbasis budaya yang mendukung pariwisata berkelanjutan," ungkap Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Eni.

Dukungan Infrastruktur dan Fasilitas

Komitmen pemerintah dalam mendukung aktivitas kebudayaan di Desa Budaya terwujud dalam berbagai bentuk pengembangan infrastruktur. Saat ini, 56 Desa Budaya telah dilengkapi dengan seperangkat gamelan sebagai sarana pelestarian seni tradisional. Dalam periode 2022-2023, pemerintah menambah dukungannya dengan memberikan gamelan berbahan perunggu kepada 20 Desa Budaya baru.

Pembangunan fisik juga terus berjalan dengan pembangunan Balai Budaya di berbagai lokasi. Tiga Balai Budaya telah berhasil diselesaikan di Sendang Agung, Panggungharjo, dan Girikerto. Melihat dampak positif dari keberadaan balai-balai ini, pemerintah telah merencanakan pembangunan empat Balai Budaya baru untuk semakin memperkuat infrastruktur budaya di DIY.

Tantangan dan Kendala

Dalam perjalanannya, program pengembangan Desa Budaya menghadapi beberapa tantangan signifikan. Masalah pendampingan teknis menjadi salah satu kendala utama, di mana pendamping sering kali hanya dipandang sebagai tenaga administratif. Sistem kontrak kerja yang hanya berlangsung delapan bulan juga menghambat kontinuitas program, terlebih tidak adanya mekanisme transfer informasi yang efektif antara pendamping lama dan baru.

Literasi budaya di kalangan pengelola desa masih menjadi tantangan tersendiri. Banyak program yang terlalu berfokus pada seni pertunjukan, sementara aspek budaya lainnya kurang tersentuh. Inovasi dalam pengembangan program juga masih terbatas, sebagian karena pemahaman yang belum menyeluruh tentang potensi budaya yang dimiliki.

Dari sisi administratif, desa budaya sering kali harus bergulat dengan mekanisme pencairan dana yang rumit. Tidak jarang, mereka harus menanggung pembiayaan awal sebelum dana program cair. Kurangnya fleksibilitas dalam pemilihan program juga membatasi kreativitas dan inisiatif lokal dalam pengembangan budaya.

Harapan Masa Depan

Dr. Bugis Wanto, mantan anggota Dewan Kesenian Kabupaten Sleman, menekankan pentingnya kolaborasi dalam pengembangan Desa Budaya. "Untuk mewujudkan Jogja sebagai pusat kebudayaan, pendidikan, dan tujuan wisata, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak," ujarnya.

Masa depan pembinaan Desa Budaya diharapkan dapat lebih komprehensif, tidak hanya fokus pada pertunjukan seni, tetapi juga mencakup berbagai aspek pengembangan kapasitas. Program-program pelatihan keterampilan dan lokakarya akan diperkuat dengan penelitian dan pengembangan jaringan yang lebih luas. Studi banding antar desa budaya akan membuka wawasan baru, sementara pemanfaatan teknologi informasi dan pengembangan big data budaya akan membawa desa budaya ke era digital.

Dengan pendekatan yang lebih holistik ini, Desa Budaya diharapkan dapat tumbuh menjadi pusat pelestarian dan pengembangan budaya yang berdaya saing, inovatif, dan tetap relevan dengan tantangan zaman. Kolaborasi antara Dinas Kebudayaan DIY, pendamping desa budaya, dan masyarakat setempat akan menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan ini.

Penulis : Maharani Satwikazahra C, Zahra Annisa, Anisah Kurnia R


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama