Prosesi upacara metatah atau potong gigi di Bali (Sumber : Instagram @allabali_photo) |
JAGATBUDAYA.com - Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, begitulah siklus dalam hidup. Ungkapan itu menggambarkan kehidupan yang berkelanjutan, bahwa setiap kehilangan akan berganti menjadi sesuatu yang baru. Gagasan ini mencerminkan bahwa hidup selalu berproses dan mengalami perubahan. Masyarakat Bali mengenal konsep lingkar hidup dengan istilah Manusa Yadnya yang terdiri dari sembilan upacara adat yakni (1) upacara pagedog-gedongan saat bayi masih dalam kandungan, (2) upacara bayi lahir, (3) upacara kepus puser, (4) upacara bayi berumur 42 hari, (5) upacara nyambutin, (6) upacara satu oton, (7) upacara meningkat dewasa, (8) upacara potong gigi dan (9) upacara perkawinan.
Metatah merupakan upacara potong gigi yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Metatah berasal dari kata tatah dalam bahasa Bali yang berarti pahat. Upacara ini merupakan warisan budaya yang telah dilakukan sejak dulu secara turun temurun. Pelaksanaanya berkaitan dengan konsep Manusa Yadnya yang menandai bahwa seseorang telah beranjak dewasa dan siap untuk membangun rumah tangga.
Metatah atau yang juga disebut mepandes, wajib diikuti oleh semua orang Bali, baik laki-laki maupun perempuan. Upacara metatah dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan diri manusia dari sikap angkara murka dan serakah. Masyarakat Bali meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat enam perilaku tidak baik atau sad ripu, yakni hawa nafsu (kama), tamak (loba), kemabukan (mada), kebingungan (moha), kemarahan (krodha) dan iri hati (matsarya). Ritual itu dilakukan dengan mengikir enam gigi yang terdiri dari empat gigi seri dan dua gigi taring rahang atas kanan dan kiri sebagai upaya untuk menangkal enam sifat buruk tadi.
“Proses metatah ini tujuannya adalah untuk, pertama untuk mengendalikan hawa nafsu enam musuh dalam diri. Kemudian bersifat pendidikan. Yang ketiga bersifat tanggung jawab orang tua terhadap anaknya,” jelas Bawati Made Suarsana, ketua panitia ritual potong gigi, pada program Ragam Indonesia yang tayang di Trans7. Pemangku adat di Banjar Tengkulak Tengah, I Gusti Made Sunartha atau Jero Gede Dwija Dauh menjelaskan bahwa proses metatah atau mepandes dilakukan pada saat manusia menginjak usia dewasa. “Makna dewasa yakni memiliki sifat kedewataan. Maka untuk memiliki sifat dewata itu, unsur-unsur yang berkaitan dengan pengaruh-pengaruh kaled (naluri negatif) yang ada dalam diri hendaknya dihilangkan. Karena itulah manusia diajarkan simbolis pelaksanaannya dengan cara mepandes atau potong gigi,” jelasnya. Pemangku adat itu juga menjelaskan bahwa upacara mepandes boleh dilakukan pada proses peralihan masa anak-anak menuju dewasa, yang ditandai oleh perubahan suara pada laki-laki dan menstruasi pertama pada perempuan.
Ni Wayan Ernawati dalam penelitian berjudul Makna Upacara Potong Gigi (Metatah) bagi Peserta Umat Hindhu Bali di Pura Agung Jagad Karana Kota Surabaya, menjelaskan tahapan upacara metatah. Berdasarkan ketentuan upacara metatah dalam Pustaka Rontal Dharma Kahuripan dan Rontal Puja Kalapati, gigi akan diukir pada prosesi ngrajah gigi dengan aksara suci sebagai penghormatan terhadap Hyang Widhi. Selanjutnya, proses metatah atau potong gigi akan dilakukan sebagai wujud permohonan kepada Bhatara Smara dan Bhatari Ratih agar dibimbing menuju jalan yang benar, memohon kekuatan secara lahir dan batin untuk menghadapi tantangan hidup serta menyucikan diri dari sad ripu.
Pada akhir rangkaian upacara, peserta metatah akan diminta mencicipi enam rasa, yakni pahit sebagai simbol ketabahan, pedas sebagai simbol kesabaran, sepat sebagai simbol ketaatan, manis sebagai simbol kebahagiaan, dan asin sebagai simbol kebijaksanaan. Meskipun upacara metatah wajib diikuti oleh seluruh umat Hindu di Bali, wanita yang sedang mengandung tidak diperbolehkan untuk mengikuti ritual. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Bali bahwa janin merupakan makhluk yang suci. Sedangkan, ritual metatah dilakukan untuk menyucikan diri yang tidak suci.
Pulau Bali memang menyimpan banyak budaya dan tradisi. Metatah mewakili bentuk warisan budaya dengan nilai spiritual dan estetika yang tinggi. Meskipun saat ini budaya modern telah banyak berpengaruh dalam kehidupan, tradisi ini harus tetap hidup dan lestari.
Penulis : Agus Ninja Nurul Chikam
Editor : Devita Melanie Candra