Daeng Soetigna : Bapak Angklung dari Tanah Parahyangan

Daeng Soetigna, inovator angklung bernada diatonis yang dikenal sebagai Bapak Angklung Indonesia. (Sumber: kovermagz.com)


JAGATBUDAYA.com - Siapa yang tidak mengenal angklung, alat musik tanah parahyangan yang terbuat dari bambu. Angklung yang saat ini telah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda oleh UNESCO dulunya merupakan alat yang digunakan oleh para pengemis untuk menarik perhatian orang-orang di jalan. Nama Daeng Soetigna menjadi tokoh penting yang berkontribusi besar pada proses modernisasi dan penyebaran angklung di Indonesia hingga mancanegara.

Daeng Soetigna memiliki nama lengkap Mas Daeng Soetigna. Ia lahir di Pameungpeuk, Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Daeng memiliki garis keturunan dari keluarga dalem atau priyayi sunda. Bakat seni yang dimiliki Daeng berasal dari ibunya, Nyi Raden Ratna Soerasti yang pandai merenda, meniup seruling, menabuh gamelan, dan membuat hiasan dinding dari bambu. 

Kecintaan Daeng kepada angklung telah tumbuh sejak kecil. Suara angklung yang ia dengar di Kuningan pada tahun 1938 menghidupkan memori masa kecilnya di Garut. Ia membeli angklung dari seorang pengemis untuk dipelajari. Berkat ketekunannya, Daeng dapat membuat nada do-re-mi dari sepotong bambu. Sebelumnya, angklung sunda hanya mampu memainkan tangga nada pentatonik (do, mi, na, ti, la). Daeng menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis (do, re, mi, fa, sol, la, si) yang memungkinkan alat musik dari bambu itu mampu memainkan genre dan gaya musik beragam. Sejak saat itu, angklung modern dengan nada diatonis dipopulerkan.

“Tahun 1938, bapak Daeng Soetigna membuatlah angklung, beliau belajar dari pengemis di daerah Kuningan. Setelah ketemu rumusnya, cara membuat suara, beliau karena guru piano tangga membikinlah tangga nada yang sama dengan piano,” jelas Sam Udjo, ketua yayasan umum perhimpunan penggiat angklung Indonesia dalam podcast Helmy Yahya Berbicara. 

Selain dikenal sebagai seniman, Daeng juga seorang pengajar. Pada tahun 1942, Daeng bekerja sebagai guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan kepala sekolah dasar di Kuningan. Ia mengajar sebagai guru olahraga dan menyanyi di kelas. Ia juga membina kepanduan (padvinders) serta melatih para pandu bermain band harmonika dan angklung diatonis hingga tampil di acara perkemahan. Pada masa pendudukan Jepang, Daeng juga pernah membawa murid-muridnya ke acara-acara resmi yang dihadiri petinggi Jepang sebagai undangan untuk memainkan angklung. Bahkan, Daeng dan kelompok musiknya pernah memainkan angklung untuk meredakan ketegangan pada saat Perjanjian Linggarjati dan Konferensi Asia Afrika. 

Sam Udjo menjelaskan momen pembukaan Konferensi Asia Afrika yang sangat bersejarah bagi perkembangan angklung. “1955 Pak Daeng harus ke Australia, padahal larus membuka konferensi Asia Afrika di Bandung. Akhirnya bapak saya (Udjo Ngalagena) yang menjadi konduktor. (Momen itu) yang menjadi historis banget (dalam perkembangan angklung),” ujarnya. Perkembangan angklung juga tidak lepas dari tokoh Udjo Ngalagena. Ia menyelaraskan tangga nada angklung dengan laras gamelan agar dapat dimainkan bersama gambang, kecapi, gong dan seperangkat alat gamelan lainnya. Pengaruhnya pada perkembangan musik angklung dapat dirasakan hingga saat ini melalui pusat budaya dan pertunjukan angklung, Saung Angklung Udjo di Bandung, Jawa Barat.

Penemuan angklung modern membuat alat musik itu dapat mudah diterima secara universal. PBB melalui UNESCO telah menetapkan angklung sebagai warisan budaya tak benda atau Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity sejak tahun 2010. Keputusan itu ditetapkan melalui pertemuan komite UNESCO pada 15-16 November 2010 di Nairobi, Kenya. Angklung secara resmi dinyatakan sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia pada 16 November 2010. Sejak saat itu, 16 November diperingati sebagai Hari Angklung Sedunia.


Sumber : Buku Daeng Soetigna, Bapak Angklung Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Nasional Jakarta.


Penulis : Agus Ninja Nurul Chikam

Editor : Devita Melanie Candra


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama